Laman

Minggu, 18 Januari 2015

perempuan itu, Ibumu..

Sore itu hujan. Seperti biasa langit gelap dan aku tetap tak suka hujan. Bedanya aku basah kuyup, tak lekas pulang tapi sempatkan sebentar bertemu perempuan itu.
Saat (masih) ada banyak perempuan di hidupmu, aku yakin hanya perempuan itu yang benar-benar kamu cintai melebihi perempuan manapun.

Perempuan itu sederhana, sesederhana kalimatnya saat sedang menceritakan dua lelakinya. Aku tau ada banyak doa yang selalu terselip untuk dua lelakinya, seperti betapa banyak harap yang dia ceritakan tentang dua lelakinya.

Aku tak suka hujan, tapi aku suka Ibumu.
Aku suka saat dia bercerita tentang masa kecilmu, bercerita sambil menirukan gaya dan celoteh lucu lelaki kecilnya. Aku suka saat melihatnya tertawa mengingat tingkahmu yang menggemaskan dulu. Aku suka saat melihat binar matanya bangga menceritakan lelaki kecilnya beranjak dewasa dengan semua pilihan hidupnya. Dan aku bangga pernah mengenalmu selama itu, hampir d e l a p a n tahun.

Aku tak selalu suka hujan, tapi sore itu aku berharap hujan reda sedikit lebih lama agar aku bisa mendengar banyak cerita tentangmu.
Aku dengar kamu sedang mempersiapkan awal permulaan hidupmu. Bahwa selalu kamu bilang, "setelah ini benar-benar hidup". Hidup sebagai seorang lelaki dewasa yang memikul banyak tanggung jawab. Aku bangga sama hal nya seperti Ibumu yang tak henti binar matanya membanggakanmu.
Aku yakin kamu masih menyimpan rapi tekadmu dulu. Membahagiakan dia selepas benar-benar jadi lelaki dewasa. Sungguh, aku tak mampu membayangkan betapa akan bahagianya dia..

Banyak yang berbeda, sedikitnya tentang dulu dan sekarang.
Dulu, aku tak suka perbincangan di telepon. Tapi sekarang setidaknya ada yang senantiasa sekedar menanyakan kabar. Setidaknya ada yang sekedar menunggu kabarku, mengkhawatirkanku  lalu kembali memperbincangkanmu. Sesederhana itu, sehangat itu cukup.
Sekarang, saat bertemu Ibumu aku tak perlu bersusah payah menciptakan topik sekedarnya. Cukup diam, menatap matanya, mendengarkan dia bercerita tak ada habisnya. Aku suka, terlebih aku suka melihat binar matanya.

Aku sudah bilang, aku mungkin bisa 'kehilanganmu' tapi belum tentu aku sanggup kehilangan semua ketulusan mereka, orang-orang terkasihmu. Ini bukan lagi tentang aku dan kamu, tapi tentang mereka yang entah dalam sujudnya serta harapnya memperkenankan kamu berjodoh dengan siapa..

Sekarang aku mengerti mengapa harus ada 'perpisahan'. Bahwa karena itu aku bisa lebih dekat, sangat dekat, begitu hangat dengan orang-orang terkasihmu.
Sekarang aku paham mengapa kita di pertemukan. Bahwa setidaknya kita saling mengajarkan, untukku sebuah kehangatan keluargamu. Untukku sebuah kesederhanaan tentang peluh dan setangkup doa.

Kamu tak perlu ragu karena selalu ada banyak doa dalam sujudnya melebihi aku. Selesaikan urusan, persiapkan semua sembari aku juga mempersiapkan hati untuk harimu (mungkin) akan ada banyak hal yang menyesakkan dadaku, meruntuhkan hatiku.

.....

Aku ingat percakapan entah berapa saat lalu,

t : aku perempuan nomor berapa di hidupmu?
b : nomor dua
t : kok nomor dua?
b : soalnya nomor satu Ibuk, baru kamu.

Sekarang? Entahlah :)

.....

*semangat aa', sebentar lagi satu garis pencapaian kamu lalui
*hilang kabar, menimbun rindu, menikmati sesak, memaklumi sibukmu
*aku masih ada rencana rahasia tentang 'pemersatu', 'hangat', 'darah' sesederhana 'bingkai'. Aku harap masih ada kesempatan untuk itu.
*maafkan, setidaknya kamu harus tau bahwa aku butuh banyak kata untuk merangkai setiap kalimat ini agar tak menyakiti perempuan(mu) yang lain.

Satu hal lagi, kamu pasti paham ini rumahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lucky Charms Rainbow